Phinzaa Hyunhie

Get Gifs at CodemySpace.com
  • HOME
  • facebook
  • twitter
  • yahoo

please click 1x

Selasa, 15 November 2011

Lembaga Politik

LEMBAGA POLITIK
Secara etimologis, politik berasal dari kata polis, yang artinya negara atau kota. Istilah ini dikemukakan dan dipakai oleh Plato untuk mengidentifikasikan masalah-masalah yang berhubungan dengan negara kota. Dan diteruskan oleh Aristoteles, ia memakai istilah Politica untuk mempelajari problematika yang timbul dalam suatu negara kota secara akademis.
Kornblum mendefinisikan institusi politik sebagai seperngkat norma dan status yang mengkhususkan diri pada pelaksanaan kekuasaan dan wewenang.
Kekuasaan dan Wewenang
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain, agar orang lain tersebut patuh kepadanya. Sebagaimana dikemukakan Max weber (1913/1947), mempersepsikan bahwa kekuasaan (power) adalah kemampuan untuk melaksanakan keinginan pemegang kekuasaan , meskipun kekuasaan itu ditentang oleh orang lain.[1] Tetapi orang tersebut tidak memiliki kekuatan unutuk melawan dan terpaksa patuh kepada pemegang kekuasaan. Kekuasaan yang sah disebut sebagai wewenang (authority). Ini merupakan kekuasaan yang dianggap sah oleh orang. Sebaliknya, kekuasaan yang tidak sah disebut paksaan (coercion) adalah kekuasaan yang tidak dianggap orang sebagai suatu hal yang benar.
Sebagai contoh saat seorang mahasiswa yang ada dalam perjalanan ke kampus mengendarai sepeda motor, mahasiswa tersebut dipepet oleh pengendara lain yang mempunyai niat hendak merampok uang yang dibawanya. Karena mahasiswa tersebut melawan sehingga mahasiswa tersebut jatuh, tetapi pengendara lain yang hendak merampoknya tidak jadi, karena keburu banyak orang. Karena kejadian tersebut mahasiswa tersebut terburu-buru saat mengendarai sepeda motornya, karena takut terlambat mengikuti UKD karena bila terlambat pintu kelas sudah dirantai dan tidak bisa masuk. Saat mahasiswa tersebut melintasi perempatan lampu lalu lintas menyala merah, tetapi dia tetap berjalan. Tiba-tiba dari belakang muncul pak polisi yang menghetikannya, pak polisi tidak tergoyahkan oleh penjelesannya atas kejadian yang dialaminya. Pak polisi tetap memberikan surat tilang kepadanya. Dalam persidangan hakim malah menceramahi dia soal keselamatan mengemudi dan kemudian memerintahkan anda untuk membayar biaya perkara dan tilang.
Perampok, polisi, dan hakim bahwa masing-masing mempunyai apa yang disebut kekuasaan, dan persidangan dia mengeluarkan sejumlah uang, Lalu apa bedanya jika dia mempberikan pada perampok tersebut dan dia tidak terlambat dalam mengikuti UKD di kampus? Perbedaannya ialah bahwa perampok tersebut tidak mempunyai wewenang.Kekuasaannya tidak sah karenanya ia tidak mempunyai hak untuk melakukan apa telah dilakukan. Sebaliknya, dia mengakui bahwa polisi berhak untuk menghentikan dia dan hakim berhak mendendanya. Mereka memiliki wewenang atau kekuasaan yang sah.
Wewenang dan Kekerasan yang Sah
Sebagaimana yang diamati sosiolog Peter Berger, tidak banyak perbedaan antara sukarela membayar denda yang dipungut hakim atau menolak untuk membanyarnya. Pengadilan akan memperoleh uangnya dengan cara apapun.
Dengan demikian, pemerintah, juga dikenal sebagai negara, menguasai monopoli penggunaan kekerasan secara sah. Apa yang diajukan oleh Max Weber (1946, 1922/1968) adalah bahwa negara menguasai hak eksklusif atas penggunaan kekerasan dan hak untuk menghukum siapapun yang menggunakan kekerasan.[2]
Sebagai contoh kekerasan yang sah oleh negara. Ketika ada seseorang atau kelompok melakukan tindak yang dapat mengancau kestabilan negara. Negara langsung mengambil inisiatif menghalaunya agar tidak mengancau lagi dengan kekerasan. Misalnya saat penngkapan yang diduga teroris oleh Densus 88, Densus 88 mendapatka hak untuk melakukan kekerasan bahkan membunuh kepada yang diduga teroris, karena melakukan perlawanan. Tetapi nergara berbeda dengan kita, bila kita kesal terhadap seseorang kita tidak bisa langsung menghajar orang tersebut. Kita tidak dapat membunuh seseorang karena dia melakukan yang secara mutlak kita anggap sebagai bentuk kejahatan kejam, tetapi negara bisa melakukannya. Seperti membunuh orang yangdiduga teroris karena melawan. Sebagaimana yang telah diringkas oleh Berger (1963), “kekerasan merupakan sendi terakhir tiap tatanan politik”.
Max Weber (1922/1968) mengidentifikasi kan tiga sumber wewenang yang pertama tradisional, rasional-legal, dan karismatik.
Wewenang Tradisional
Wewenang tradisional (teaditional authority), yang di dasarkan pada kebiasaan, merupakan ciri kelompok kesukuan. Dalam masyarakat semacam ini, kebiasaan menentukan hubungan-hubungan dasar. Kelahiran dalam suatu keluarga tertentu, misalnya, menjadi seseorang kepala, raja, atau ratu. Menurut pandangan anggota masyarakat, hal ini merupakan cara yang paling benar untuk menentukan siapa yang akan memerintah, Karena hal ini dilakukan secara terus menerus seperti itu.
Wewenang tradisional mengalami kemunduran seiring berkembangnya indrustrialisasi, walaupun tidak pernah hilang sepenuhnya. Dalam masyarakat pasca industrialisasi, misalnya, wewenang yang dimiliki oleh orang tua terhadap anak-anaknya kerana selama ini orang tua selalu memiliki wewenang seperti itu.Dari turun temurun kita mengetahui bahwa para orang tualah yang harus mendisiplinkan anak-anaknya, memilih dokter dan sekolah anak-anaknya, mengajarkan agama dan moraitas kepada anak-anaknya.
Wewenang Rasional-Legal
Wewenang rasional-legal (rational-legal authority), tidak didasarkan pada kebiasaan, melaikan pada peraturan tertulis. Rasional berarti masuk akal, dan legal merupakan bagian dari hukum. Oleh karena itu, rasional legal merujuk pada hal-hal yang disepakati orang secara masuk akal dan ditulis menjadi hukum atau peraturan tertentu. Hal-hal yang disepakati dapat bersifat sangat luas, seperti suatu konstitusi yang merinci hak-hak semua anggota suatu masyarakat, atau bersifat sempit, seperti suatu kontrak antara dua individu. Karena birokrasi didasarkan pada peraturan tertulis, wewenang rasional-legal terkadang disebut sebagai wewenang birokrasi (bureaucratic authority).
Wewenang rasional-legal berasal dari posisi yang diduduki seseorang, bukan dari orang yang menduduki posisi. Dalam suatu demokrasi, misalnya, wewenang presiden berasal dari jabatannya yang terinci dalam konstitusi kesepakatan tertulis, bukan dari kebiasaan pribadi individu. Dalam wewenang-legal, tiap orang bahwa setinggi apapun kedudukannya harus tunduk pada peraturan organisasi tertulis. Perbedaan dalam wewenang tradisional bahwa di dalam wewenang tradisional, kata-kata penguasa dianggap sebagai hukum, namun dalam wewenang rasional-legal, penguasa tunduk pada hukum.
Wewenang Karismatik
Wewenang karismatik (karisma dalam bahasa Yunani yang berarti suatu hadiah yang diberikan secara bebas dan anggun.[Arndt dan Gingrich1957].)[3] Seorang individu karismatik ialah seorang yang menarik bagi orang lain karena mereka percaya bahwa orang tersebut telah tesentuh oleh Tuhan atau telah dianugerahi kemampuan luar biasa alam.
Sebagai contoh ialah karisma dari Presiden Ir. Soekarno, yang menyebabkan beliau selalu mendapat tempat di hati rakyatnya dan rakyat selalu mendukung semua kebijakan yang merupakan ide atau gagasannya. Hal itu terjadi bukan karena rakyat mengikuti saja karena rakyat pada waktu itu percaya pada ramalan yang ada pada Jangka Jayabaya, karena rakyat sudah lelah dengan penderitaan atas penjajah. Di mata rakyat Ir.Soekarno merupakan sosok yang pantas dikaitkan dengan ramalan tersebut bahwa akan ada seseorang yang akan membebaskan Indonesia dari penjajah. Orang dari Eropa yang memiliki karisma salah satunya adalah Adolf Hitler, Adolf Hitler mampu membuat banyak orang menurutinya, karena dia dianggap mampu mengabulkan mimpi bangsa Jerman. Sehingga rakyat Jerman banyak yang bersimpati kepadanya.
Bila seorang raja menuntut kesetiaan atas dasar tradisi, dan seorang presiden mendasarkannya pada hukum tertulis. Lalu pemimpin karismatik atas dasar apa mendasarkan kesetiaan kepada pemimpinnya? Karena wewenang mereka didasarkan pada kemampuan pribadi mereka dalam menarik pengikut, pemimpin karismatik dapat mengancam bagi sistem pemerintahan yang mantab. Mereka memimpin pengikutnya atas dasar kehendak pribadi, bukan berdasarkan jalur tradisi atau peraturan hukum. Sejalan dengan itu, mereka dapat mempengaruhi para pengikutnya untuk mengabaikan atau bahkan menumbangkan pejabat tradisional atau rasional-legal.
Oleh karena itu, para pejabat tradisional dan rasional-legal sering kali dengan cepat menentang para pemempin karismatik. Namun, apabila mereka tida hati-hati,  pertentangan yang mereka tunjukkan dapat membangkit lebih banyak sentimen positif bagi para pemimpin karsmatik, yang dapat membuat mereka dianggap sebagai korban ketidakadilan, sehingga rakyat yang tadinya mendukung pemerintah membelok kearah pemeimpn karismatik.
Peralihan Wewenang atau Kekuasaan
Peralihan wewenang secara teratur dari seorang pemeimpin yang lain sangatlah penting bagi kestabilan sosial. Dibawah wewenang trdisional, orang mengetahui siapa yang akan mendapat giliran berikutnya. Di bawah wewenang rasional-legal, orang mungkin tidak tahu siapa yang akan menjadi pemimpin berikutnya,tetapi mereka tahu bagaimana orang tersebut dipilih. Dalam sistem wewenang tradisional maupun rasional-legal, peraturan mengenai peralihan kekuasaan bersifat tegas.
Namun wewenang karismatik tidak mempunyai peraturan peralihan wewenang semacam itu. Ini menjadikan wewenang karismatik lebih tidak stabil jika dibanding dengan wewenang tradisional maupun rasional-legal. Karena wewenang karismatik dibangun disekitar individu tunggal, kematian atau ketidakberdayaan pemimpin karismatik dapat menimbulkan perebutan kekuasaan.
Untuk mencegah hal tersebut, beberapa pemimpin karismatik membuat peraturan mengenai transisi kekuasaan dengan cara menunjuk seorang penerus. Tentunya ini tidak menjamin adanya suatu peralihan wewenang yang lancar, karena sang pengikut belum tentu memandang sang penerus seperti halnya pemimpin karismatik. Cara yang kedua digunakan pemimpin karismatikiala dengan membangun suatu organisasi. Saat organisasi tersebut mengembangkan suatu sistem dan peraturan, organisasi tersebut mentransformasikan diri menjadi suatu organisasi rasional legal. Weber menggunakan istilah rutinisasi karisma (routinization of charisma) untuk merujuk pada alih kekuasaan dari seorang pemimpin kharismatik menjadi wewenang tradisional atau wewenang rasional-legal.[4]
Sebagai contoh peralihan kekuasaan dari pemeimpin karismatik menjadi wewenang tradisional adalah kekaisaran di Cina, kekaisaran disana dibentuk berasal dari para pemimpin karismatik yang memberotak kepada pemerintah dan menggulingkannya, dan membentuk pemerintahan baru. Contoh wewenang karismatik menjadi rasional-legal ialah saat kemerdekaan Indonesia di proklamasikan oleh Ir. Soekarno, beliau dianggap mampu membawa Indonesia menuju kemerdekaan, terbebas dari penjajahan. Ir.Soekarno dan orang-orang yang bersangkutan yang terlibat dalam pembentukan negara republik Indonesia, membentuk konstitusi atau dasar negara dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sebuah kesepakatan seluruh rakyat Indonesia.
Proses Pembentukan Lembaga Politik
Lembaga politik sudah ada pada masyarakat yang sederhana meskipun sistemnya berbeda dengan masyarakat yang kompleks. Karena politik menetapkan kepemimpinan agar tetap berjalan. Setiap masyarakat harus mempunyai sistem kepemimpinan. Beberapa orang harus mempunyai kekuasaan atas orang lain.
Lembaga politik berkaitan dengan kehidupan politik, yakni menyangkut tujuan dari keseluruhan masyarakat agar tercapai suatu keteraturan dan tata tertib kehidupan. Kehidupan politik ini mulai dari tingkat terkecil seperti RT/RW sampai dengan lingkungan yang lebih luas, yaitu bangsa dan negara. Adapun yang diatur dan dikendalikan dalam kehidupan masyarakat adalah mengenai kepentingan-kepentingan warga  masyarakat itu sendiri, Sehingga terjadi sebuah keteraturan. Untuk dapat mengatur kepentingan diperlukan suatu kebijaksanaan tertentu, dalam rangka melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan Lembaga memerlukan kekuasaan dan wewenang. Kehidupan politik tidak akan terlepas dari sistem pengaturan, pembagian, dan pengukuhan kekuasaan dan wewenang dalam masyarakat.
Politik akan menentukan Siapa yang memperoleh apa, bilamana, dan bagaimana. Dasar kehidupan politik adalah persaingan untuk memiliki atau memperoleh kekuasaan. Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan.
Karakteristik yang ada pada proses pembentukan lembaga politik ada empat, yaitu:
1.Adanya keinginan bersama yang secara sosial hidup bersama atas dasar nilai-nilai yang disepakati bersama.
2.Adanya asosiasi atau lembaga yang aktif,
3. Asosiasi tersebut melaksanakan fungsi-fungsi untuk kepentingan umum.
4. Asosiasi tersebut diberi kewenangan jangkauannya hanya dalam teritorial tertentu.
Peranan Lembaga Politik
Dalam  kaitannya peranan atau fungsi dari lembaga politik, bahwa setiap negara menyelenggarakan fungsinya sebagai negara. Negara mempunyai apa yang dinamakan wewenang. Wewenang itu merupakan kekuasaan yang dibenarkan atau sah (legal) oleh orang. Fungsi atau peranan negara diantaranya Melaksanakan penertiban agar peraturan atau kesepakatan bersama tidak dilanggar, dengan cara adanya sanksi bagi pelanggar. Menjaga keamanan di dalam negara dimana untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah terjadinya disintegrasi bangsa maka negara harus berperan melaksanakan penertiban. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, dengan cara ikut campur dalam proses kegiatan ekonomi mulai. Bahwa setiap negara harus menjaga pertahanan kedaulatan negaranya. Menegakkan keadilan melalui badan peradilan.
Lembaga politik sebagai pelaksana dari kekuasaan, memiliki fungsi sebagai berikut.
1. Membentuk norma-norma kenegaraan berupa undang-undang yang disusun oleh legislatif.
2. Melaksanakan norma yang telah disepakati.
3. Memberikan pelayanan kepada masyarakat, baik bidang pendidikan,kesehatan, kesejahteraan, keamanan.
4. Menumbuhkan kesiapan untuk menghadapi berbagai kemungkinan bahaya.
5. Menjalankan diplomasi untuk berhubungan dengan bangsa lain.

[1] James M. Henslin,2006,  Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, halaman 84.
[2] James M. Henslin,2006,  Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, halaman 85.
[3] James M. Henslin,2006,  Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, halaman 86.
[4] James M. Henslin,2006,  Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, halaman 87.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tutorial blogartikel terselubung